Sistem Peringatan Dini Longsor Berbasis Sensor
Longsor menjadi jenis bencana hidrometeorologi yang kerap menghantui sejumlah daerah. Area-area rawan longsor perlu sistem peringatan dini yang hasil analisisnya akurat dan cepat diterima masyarakat. Sampai saat ini masih banyak daerah rawan longsor di Indonesia yang belum memiliki sistem peringatan dini sehingga menimbulkan korban jiwa saat terjadi bencana. Peneliti dari Universitas Indonesia mengembangkan sistem peringatan dini longsor berbasis sensor laser yang didukung kemampuan internet dan harga yang terjangkau. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejak 1 Januari hingga 25 September 2021 terjadi 362 bencana longsor di berbagai wilayah di Indonesia. Longsor tercatat menjadi bencana dengan intensitas tertinggi ketiga setelah banjir (814 kejadian) dan puting beliung (500 kejadian).
Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat sepanjang 2020 terjadi 2.099 bencana longsor dan 73 persen di antaranya terjadi di Pulau Jawa. Artinya, terdapat lebih dari 1.500 kejadian longsor di Jawa pada 2020. Dari jumlah tersebut, sebanyak 304 orang meninggal dunia, 7.226 orang mengungsi, dan 6.310 rumah rusak. Tingginya kejadian longsor hingga mengakibatkan korban jiwa membuat setiap daerah rawan perlu menyiapkan sistem peringatan dini. Namun, hal ini juga kerap terkendala karena sistem peringatan dini longsor yang ada saat ini masih menggunakan teknologi radar, penginderaan jauh, dan geoteknik sensor yang cenderung mahal. Data yang dihimpun dari teknologi tersebut juga cukup rumit saat diolah dan sulit dibuat sistem waktu terkini (real time) secara daring.
Kondisi tersebut membuat peneliti dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA-UI) mengembangkan sistem peringatan dini longsor menggunakan sensor laser distance (jarak). Desain, komponen, serta cara kerja sistem ini dibuat seringkas mungkin sehingga lebih terjangkau dan mudah dioperasikan.
Parluhutan Manurung, pengajar di Departemen Geografi FMIPA-UI sekaligus penggagas inovasi tersebut menjelaskan, sistem peringatan dini longsor harus dibuat lebih terjangkau mengingat longsor terjadi di hampir setiap wilayah di Indonesia. Hal terpenting lainnya yaitu sistem peringatan dini harus mudah dioperasikan karena kondisi sumber daya manusia di setiap daerah.
"Semua sistem peringatan bencana juga harus real time agar masyarakat bisa dievakuasi secepatnya. Kami mengusulkan membuat inovasi peringatan dini longsor berbasis sensor laser ini pada 2020 karena bencana ini merupakan salah satu yang paling banyak memakan korban jiwa," ujarnya di Jakarta, Sabtu (25/9/2021).
Menurut Parluhutan, longsor selalu diiringi dengan kejadian keretakan tanah atau tebing sehingga sistem peringatan dini tidak boleh terlalu kompleks. Sistem peringatan dini yang dibuat hanya perlu melihat dan memantau perubahan tanah tersebut yang salah satunya ditandai dengan pergeseran pohon.
Inovasi ini secara umum merupakan alat pemantau gerakan tanah dan longsor berbasis sistem daring (online). Pemantauan longsor didasarkan dengan pengukuran terus menerus jarak dari sensor laser distance dan sensor unit pengukuran inersia (IMU) ke target. Skema ini digunakan untuk memantau perubahan jarak dan lereng dalam vektor tiga dimensi (3D) yaitu pitch, yaw, dan roll.
Sistem akan mengaktifkan sarana peringatan dini berupa sirine untuk mengevakuasi penduduk jika perubahan jarak dan kemiringan permukaan tanah telah melebihi batas yang ditetapkan. Hasil pemantauan juga akan ditransfer ke sistem komputasi awan (cloud server) dengan jalur komunikasi seluler untuk ditampilkan secara daring dan real time pada situs.
Terjangkau dan Akurat
Keunggulan alat ini yaitu pada sistem dan komunikasi data yang sudah didukung konektivitas internet (IoT). Sistem ini membaca data dari sensor laser nirkabel yang dilengkapi dengan sensor unit IMU berbasis mikro elektromekanis (MEMS). Sistem ini dapat mendeteksi pergerakan pada lereng batuan atau tanah yang presisi.
Sistem optik pada laser juga dapat mengukur deformasi, getaran, dan jarak. Keuntungan laser optik ini yaitu cukup terjangkau, memiliki akurasi hingga satuan milimeter, dan mempunyai kemampuan membaca vertikalitas serta getaran yang menyebabkan longsor.
Sensor laser rangefinder dan giroskop terhubung antara data logger dengan koneksi kabel data. Data logger dilengkapi dengan slot untuk kartu memori dan kartu subscriber identity module (SIM). Kartu memori digunakan merekam data apabila alat ini tidak terhubung dengan jaringan internet.
“Kartu SIM digunakan untuk mengirimkan hasil pemantauan dan peringatan dini langsung ke ponsel masyarakat," kata dia.
Namun, sistem ini juga dilengkapi opsi koneksi ke WiFi. Selain itu, bisa juga dipasang sistem radio untuk daerah terpencil yang tidak ada jaringan telekomunikasi atau internet. Sistem peringatan dini longsor ini juga dilengkapi konsumsi daya menggunakan panel surya kecil berukuran 12 watt peak (WP). Konsumsi daya menggunakan panel surya dipilih atas pertimbangan iklim tropis di Indonesia. Dengan perawatan yang baik, alat ini diprediksi masih tetap optimal untuk pemakaian lima tahun. Keunggulan alat ini yaitu pada sistem dan komunikasi data yang sudah didukung konektivitas internet (IoT). Sistem ini membaca data dari sensor laser nirkabel yang dilengkapi dengan sensor unit IMU berbasis mikro elektromekanis (MEMS). Sistem ini dapat mendeteksi pergerakan pada lereng batuan atau tanah yang presisi.
Alat ini telah diujicoba selama enam bulan di daerah Bojong Koneng, Bogor, Jawa Barat. Hasil uji coba menunjukkan alat ini cukup efektif memantau pergerakan tanah sebelum longsor dan dapat mengirimkan peringatan dini secara real time ke masyarakat. Alat ini sudah siap untuk didistribusikan setelah dilakukan sosialisasi maupun industrialisasi oleh pihak UI. Harga alat ini dipatok Rp 30-50 juta. Harga yang relatif terjangkau ini memungkinkan masyarakat untuk membangun sistem peringatan dini bencana longsor secara mandiri di daerah masing-masing.
Deputi Bidang Pencegahan BNPB Prasinta Dewi saat menghadiri rapat koordinasi peringatan dini dalam menghadapi ancaman bahaya hidrometeorologi menyampaikan, sistem peringatan dini terdiri dari dua komponen utama yakni struktur dan kultur. Komponen struktur merujuk pada infrastruktur pengamatan dan monitoring, sedangkan komponen kultur sebagai diseminasi dan kapasitas masyarakat.
Menurut Prasinta, saat ini pemerintah dan lembaga-lembaga terkait lainnya seperti Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) hingga Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sudah memiliki sarana prasarana monitoring yang sudah cukup maju dan memadai. Prasarana tersebut juga sudah bisa memberikan peringatan kepada para pemangku kepentingan maupun masyarakat.
Namun, ia mengakui bahwa tantangan sistem peringatan dini masih terdapat pada komponen kultur. Salah satu yang menjadi tantangan yaitu bagaimana peringatan dini bencana bisa langung sampai ke masyarakat dengan cepat dan tepat. Masyarakat juga masih perlu pemahaman lebih baik saat mendapat peringatan dini bencana.
Sementara Direktur Peringatan Dini BNPB Afrial Rosya menegaskan bahwa kemampuan merespons dari masyarakat sangat penting dalam peringatan dini bencana. Informasi sebagai suatu peringatan dini harus dipastikan sampai dan dipahami oleh masyarakat. Setelah itu, masyarakat segera merespons informasi tersebut dengan evakuasi ke tempat yang aman.
Sumber : https://www.kompas.id/
Harian Kompas - Senin, 27 September 2021